Rumput, menjadi media berkembang larva cacing lambung |
Saturday, April 28, 2018
Mengapa Domba Rawan Cacingan?
Mengapa domba rawan cacingan? terlebih untuk domba yang digembalakan. Padahal sudah diberi pakan berkualitas, namun hasil bobot badan belum terlihat memuaskan. Temukan jawabannya di Mengapa Domba Rawan Cacingan
Thursday, April 19, 2018
Kenali dan Hindari Cacing Lambung Haemonchus contortus
Domba dan kambing rentan mengalami haemonchosis, akibat infestasi cacing
lambung Haemonchus contortus penyebab anemia
[Terbit di INFOVET, Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan, Edisi 285 April 2018]
Performa produksi domba dan kambing salah satunya ditentukan oleh kuantitas
dan kualitas ransum pakan yang diberikan. Rumput sebagai salah satu sumber
serat yang dibutuhkan ternak ruminansia berlambung jamak seperti domba dan
kambing, ternyata juga turut andil menyumbang larva stadium tiga (L3s) cacing H. contortus, yang ikut terkonsumsi
ketika rumput dimakan. Larva L3s ini hidup nyaman dan berkembang biak di dalam
lambung keempat domba dan kambing (abomasum). Ya, spesifik dan hanya ditemukan
di abomasum, lambung yang memiliki pH asam ini. Si cacing betina bertelur, lalu
telur dikeluarkan melalui feses. Feses di suhu lingkungan yang sedikit hangat,
menjadi media menetasnya telur-telur cacing H.
contortus menjadi larva stadium satu dan dua, sebelum berkembang menjadi
larva L3s yang hidup bertahan di pangkal rerumputan, yang dekat dengan tanah.
Larva L3s ini akan masuk ke dalam lambung ternak lagi ketika rumput sebagai
habitatnya dimakan oleh ternak. Demikian seterusnya.
Infestasi dan Eksistensinya di Lambung
Siklus hidup cacing H. contortus
yang demikian sederhananya menjadikan prevalensi ditemukannya cacing ini di
lambung domba dan kambing sangat tinggi, terutama pada kondisi domba dan
kambing yang digembalakan. Sebenarnya, kemampuan hidup larva L3s di rerumputan
tidaklah sekuat yang dibayangkan. Larva ini rentan mati akibat perubahan suhu
lingkungan atau pun adanya agen pemusnah seperti pestisida yang digunakan di
persawahan. Namun, kurangnya ketersediaan lahan untuk rotasi padang gembala
menjadi salah satu sebab, mengapa siklus cacing penyebab anemia ini tidak
terputus.
Cacing H. contortus merupakan
parasit nematoda yang biasa disebut cacing lambung (stomach worm), atau barber
pole worm. Disebut sebagai yang terakhir ini karena khusus pada cacing
betina terdapat uterus berwarna putih yang diselingi usus berwarna kemerahan,
kemudian berpilin sehingga mirip dengan ikon
tempat cukur rambut para pria, sebuah bentuk lampu boks silinder dengan
hiasan pilinan dua warna kontras. Namun, hal ini tidak ditemukan pada cacing
dewasa jantan, yang hanya mempunyai warna tubuh merah cerah. Panjang cacing
dewasa mencapai 10-30 mm, dengan si betina lebih panjang dan besar dibanding
cacing jantan. Seekor cacing H. contortus
betina mampu bertelur hingga 5.000-10.000 butir/hari, atau diestimasikan
setiap 16-17 detik terjadi ovulasi, tergantung dari kematangan reproduksi dan
umur cacing tersebut.
Penampakan cacing lambung dengan panjang sekitar 20 mm |
Satu ekor domba atau kambing dianggap normal, bila prevalensi
ditemukannya telur cacing H. contortus
ini di bawah 500 butir/gram feses. Pengamatan dilakukan secara mikroskopis di
bawah mikroskop. Ada juga standar yang menyatakan harus di bawah 200 butir/gram
feses atau bahkan diharuskan nol atau bersih total. Mereka dengan standar ini
lebih mengutamakan pada optimalisasi performa produksi. Biasanya dibarengi
dengan pola pemeliharaan intensif dan pemberian anthelmintika (obat cacing).
Domba betina dan anak domba yang digembalakan di lahan persawahan biasanya terserang
cacing lebih tinggi, hingga di atas 1.000 butir/gram feses. Bahkan pada
beberapa kasus yang pernah penulis teliti, ditemukan beberapa ekor domba ekor
tipis betina dari kawanan penggembalaan dengan jumlah telur cacing mencapai
lebih dari 5.000 butir/gram feses. Meskipun jumlah telur tinggi (lebih dari
2.000 butir/gram feses), tidak serta merta menunjukkan gejala fisik yang sama
antar ternak satu dengan lainnya. Namun secara umum, domba atau kambing yang
terinfestasi cacing H. contortus
mempunyai penampilan fisik yang cenderung kurus, mata berair, tidak aktif, dan
bulu kusam hingga mudah rontok. Nafsu makan masih tetap tinggi pada periode
awal-awal infestasi, tapi konversi pakan tinggi, sehingga performa produksi
daging buruk.
Penampakan telur cacing H. contortus secara mikroskopis dengan perbesaran 10x10 |
Kerugian yang Diderita
Cacing H. contortus dewasa
mengaitkan ujung mulutnya di mukosa dinding abomasum dan menghisap darah ternak
inangnya. Setiap hari, satu ekor cacing dewasa mampu menghisap sekitar 0,05 ml
darah segar dari abomasum. Bayangkan jika satu ekor ternak terdapat 1.000 ekor
cacing dewasa, maka diperkirakan akan kehilangan 50 ml darah setiap harinya.
Tentu saja ini menyebabkan anemia, dan dikatakan bahwa cacing H. contortus merupakan penyebab primer anemia pada ternak, diiringi
defisiensi kalsium dan fosfat. Dalam kondisi hiperakut, kematian tidak dapat
dihindarkan, terlebih pada ternak usia muda dengan daya tahan yang lebih lemah
dibanding dewasanya.
Anemia dan turunannya menjadikan penurunan bobot karkas, konsumsi pakan
dan nutrien menjadi tidak optimal, penurunan imunitas ternak, dan meningkatnya
resiko kegagalan pertumbuhan fetus, termasuk meningkatnya angka kematian cempe pasca kelahiran. Selain prematur,
perkembangan kelenjar susu di ambing induk juga terhambat dan tidak maksimal, sehingga
anak yang lahir akan kekurangan asupan susu induknya, baik dari segi kuantitas maupun
kualitasnya. Kerugian ekonomi akibat infestasi cacing H. contortus tidak terelakkan lagi. Ditambah lagi dengan
ditemukannya resistensi cacing H.
contortus terhadap beberapa obat cacing komersial spektrum luas seperti albendazole dan avermectine, yang menyebabkan semakin kurang efektifnya pengobatan
dengan dosis mainstream, dan
meningkatnya biaya produksi untuk obat (Pathak et al., 2016; Van den Brom et
al., 2015).
Cegah dan Atasi dengan Cara ini
Berbagai cara direkomendasikan oleh para peneliti peternakan, khususnya
dalam hal menangani dan mencegah serangan cacing H. contortus. Secara umum, yang dapat dilakukan adalah dengan
memotong siklus hidup cacing, dan membunuh cacing pada fase tertentu, atau pada
seluruh fase kehidupannya (spektrum luas).
Memotong siklus hidup cacing dapat dilakukan dengan melakukan rotasi
padang gembalaan dan memberikan waktu yang cukup agar larva-larva cacing di
lokasi pertama mati, tanpa sempat termakan ternak. Cara lain adalah dengan
melakukan strategi cut and carry pada
pakan hijauan. Frekuensi ternak digembalakan dikurangi, atau bahkan tanpa
digembalakan sama sekali. Sehingga tidak ada feses ternak yang tertinggal di
lahan hijauan. Rumput lapangan (sawah) atau pun rumput budidaya seperti rumput
raja, rumput gajah, tebon jagung, dll. dipotong (cut) di kebun budidaya dan dibawa (carry) ke kandang ternak. Tentunya hal ini perlu pertimbangan biaya
tenaga kerja. Namun dengan cara ini, ada sisi positif lain yang diperoleh,
yakni feses yang tertampung dapat diolah menjadi pupuk kandang bernilai ekonomi
tinggi.
Dikandangkan, salah satu solusi memutus siklus cacing lambung |
Cara berikutnya adalah dengan membinasakan cacing pada berbagai fase.
Pemberian obat cacing komersial spektrum luas seperti albendazole dengan dosis 3-5 mg/kg bobot badan ternak, dirasa
sangat efektif menekan jumlah infestasi cacing di saluran cerna, bukan hanya
terhadap cacing H. contortus,
melainkan terhadap parasit lainnya seperti cacing hati dan koksidia. Pemberian
pakan hijauan berbasis leguminosa (kacang-kacangan) dan herbal yang mengandung
senyawa metabolit sekunder (tanin, saponin, dll.) juga terbukti ampuh
menurunkan infestasi cacing, di samping meningkatkan asupan protein ternak dari
tanaman legum tersebut.
Terkait dengan protein, pemberian pakan penguat atau konsentrat sumber
energi dan protein juga terbukti mampu menurunkan resiko infestasi cacing.
Nilai nutrien yang tinggi dari pakan penguat, mampu memberikan asupan nutrisi
bagi sel-sel mukosa saluran cerna yang rusak karena infestasi cacing, serta meningkatkan
imunitas, sehingga ternak lebih kuat dan mampu mengatasi resiko lanjutan dari
infestasi cacing tersebut. Di benua biru, yang memiliki lahan gembala yang
luas, mereka mencampur rumput di lahan pastura dengan tanaman legum yang kaya
protein dan zat aktif antiparasit, sehingga mampu menekan resiko cacingan meski
tetap digembalakan. Semua ini sebenarnya merupakan rangkuman dari sistem
pemeliharaan semiintensif – intensif. Karena untuk menunjang produktifitas
peternakan dewasa ini, pola pemeliharaan juga harus update dan mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan. Itu lah tuntutan peternak jaman now.
Awistaros
A. Sakti, 2018
Subscribe to:
Posts (Atom)
Cara Menentukan Tema Channel bagi Youtuber Pemula
Hai halo youtube mania, para content creator , dan pemirsa youtube. Assalamualaikum. Video ini diproduksi dan diupload saat pandemi covid-1...
-
Beternak bukan hanya soal hobi, tabungan, untung rugi, atau pun perkara teknis semata. Namun, lebih dari itu, beternak bisa menjadi...
-
Seringkalinya menyiakan hari pertemuan... Seringkalinya menyediakan ruang bosan di rumah waktu... Hingga memudarnya kekhusyukan... ...
-
Setidaknya, setiap siang dedaunan mengenangmu... Atau setiap gelap malam penuh harap menantimu... Menunggumu datang lepas fajar nant...