Dipublikasikan dalam Majalah Infovet, Edisi 295 - Februari 2019
Bisa klik di Majalah Infovet
“Perlunya dibentuk bangsa sapi potong dan
perah komersial asli Indonesia yang mempunyai produktivitas mumpuni, namun juga mempunyai
daya adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropis di Indonesia.”
Keresahan
kaum intelektual di perguruan tinggi dan lembaga penelitian terhadap ketiadaan brand sapi komersial asli Indonesia, sedikit mulai menemukan
jawaban. Pertemuan ilmiah antara akademisi, peneliti dan praktisi peternakan ruminansia dalam Focus Group Discussion (FGD) yang
digagas Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Fapet UGM), yang dibuka oleh Prof Dr Ir Ali Agus, selaku Dekan Fapet UGM telah terlaksana dengan baik dan
menghasilkan secercah harapan untuk masa depan sapi potong dan perah di Indonesia.
Bertempat
di Ruang Sidang Besar, Gedung H-1, Fapet UGM
Yogyakarta pada Jumat, (21/12), para akademisi dan peneliti dari berbagai
perguruan tinggi dan lembaga penelitian, serta
praktisi dan pengusaha ternak ruminansia berkumpul, untuk menyamakan persepsi
terhadap tujuan, arah dan model kombinasi untuk mendapatkan bangsa sapi
komersial Indonesia (beef dan dairy) yang mampu menjawab kebutuhan
daging dan susu di Indonesia.
Peserta
akademisi berasal dari Fapet UGM,
Unpad Bandung, UNS Surakarta, Unlam Kalimantan Selatan, Udayana Bali dan
Kanjuruhan Malang. Sedangkan peneliti yang dihadirkan berasal dari Pusat
Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong, BPTBA LIPI Yogyakarta, dan Loka
Penelitian Sapi Potong Grati. Turut hadir pula perwakilan dari Koperasi Susu Warga
Mulya Sleman dan PT Widodo Makmur Perkasa Klaten.
FGD diawali
dengan pemaparan oleh Prof Dr Ir
Sumadi, tentang definisi dan karakter yang
dibutuhkan dalam pembentukan sapi Indonesian
Beef Commercial Cross (IBCC) dan sapi Indonesian
Dairy Commercial Cross (IDCC), serta
potensi dan output yang diharapkan.
“Indonesia
defisit satu juta
ekor sapi potong yang saat ini diwujudkan dalam bentuk impor sapi sebanyak 700
ribu ekor dan impor daging setara 300 ribu ekor. Sedangkan untuk sapi perah,
kita defisit dua juta
induk, jika mengacu pada kebutuhan susu sapi nasional. Kurang lebih 70% kebutuhan susu nasional, kita dapatkan dari
impor,” ujarnya.
Oleh
karena itu, lanjut dia, perlu dibentuk bangsa sapi potong dan perah komersial asli
Indonesia yang mempunyai produktivitas mumpuni, namun
juga mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropis di Indonesia.
Bentuk Bangsa Sapi IBCC dan IDCC
Pembentukan
bangsa sapi IBCC dan IDCC dapat ditempuh mulai dari nol (bisa mengacu pada
pembentukan bangsa Kuda Pacu Indonesia), atau dengan cara pemetaan dari bangsa
sapi yang ada saat ini.
Alternative crossing yang
dapat dilakukan diantaranya dengan memaksimalkan heterosis (prestasi rata-rata anak
di atas rata-rata induknya), grading up (mengubah
bangsa satu ke bangsa yang lain), ataupun melalui pembentukan
bangsa baru (komposit). Pemetaan
bangsa sapi yang ada saat ini, menurut Prof Ir I Gede Suparta Budisatria, dapat mengacu pada hasil-hasil riset perguruan
tinggi dan lembaga penelitian yang
mengarah ke akselerasi produksi daging dan susu nasional. Hasil-hasil riset
itu perlu disinkronisasikan, dirakit, hingga didapatkan komposit terbaik yang
bisa diambil sebagai solusi untuk hasil yang lebih singkat, mengingat pekerjaan
breeding beresiko menghabiskan waktu
puluhan tahun hingga dihasilkan generasi sapi yang diharapkan.
Terkait
dengan ketersediaan bangsa sapi lokal pure
yang siap dijadikan sumber indukan, menurut Prof Dr Ir Sri Bandiati, telah tersedia bangsa sapi Pasundan hasil
penelitian di Jawa Barat. Di lain pihak, Dr Syahruddin Said, menambahkan bahwa telah teridentifikasi genetik
sebanyak 13 ekor sapi Sumba Ongole (SO) murni hasil kolaborasi riset dengan
Puslit Bioteknologi LIPI di kandang milik PT Karya Anugerah Rumpin (KAR) Bogor. Sapi SO tersebut telah tersertifikasi SNI dan
siap digunakan sebagai sumber indukan.
Sementara, dosen jurusan peternakan UNS, Nuzul Widyas, ikut menegaskan perlu juga dipertimbangkan bahwa
tidak serta-merta
persilangan antara Bos indicus (bangsa
sapi tropis) dengan Bos taurus (bangsa
sapi subtropis) selalu menghasilkan keuntungan. Sebagai
contoh pada bangsa sapi Belgian blue di
Belgia yang merupakan hasil persilangan berbagai bangsa sapi hingga didapatkan sapi dengan double muscling, yang ternyata mempunyai
kekurangan berupa mengecilnya saluran reproduksi akibat pertumbuhan otot yang super,
sehingga diperlukan operasi sesar dalam
setiap penanganan kelahiran. Tentu
ini menambah biaya dan tenaga.
Saat ini diketahui bahwa sapi-sapi yang dipelihara di Indonesia
tidak mudah lagi untuk dideteksi berapa persen darah suatu bangsa ada dalam
ternak tersebut. Lemahnya
recording system di tingkat peternak
menjadi salah satu faktor, di samping
sosiokultural sebagian masyarakat yang semakin senang jika ternak mereka
semakin berwarna “merah” (darah Bos
taurus semakin tinggi), tanpa
mereka sadari bahwa akan semakin tinggi pula biaya yang di keluarkan untuk pemenuhan nutrien pakan dan
pemeliharaan jika diinginkan produktivitasnya optimal.
Sementara terkait dengan pembentukan IDCC, Prof Dr Ir Tridjoko Wisnu
Murti, menegaskan bahwa akselerasi yang dibutuhkan saat ini bukan hanya dalam
pemenuhan jumlah tonase susu yang dihasilkan, tetapi juga pada kualitas susu
itu sendiri.
Saat ini
di lapangan, dengan 600 ribu ekor sapi perah yang dimiliki Indonesia, hampir
seluruhnya merupakan sapi Friesian
Holstein (FH) dan peranakannya (PFH) yang identik dengan warna hitam dan
putih. Padahal, lanjut dia, terdapat
sapi FH berwarna merah dan putih yang lebih adaptif terhadap kondisi tropis,
serta bangsa sapi Jersey yang juga
merupakan bangsa sapi perah dengan kemampuan adaptasi iklim tropis yang lebih
baik, sehingga perlunya pemikiran untuk
melakukan akselerasi dengan pendekatan breeding
yang lebih terkonsep dengan baik.
Hal ini
diamini oleh peternak sapi perah yang tergabung dalam Koperasi Susu Warga Mulya
Sleman. Jenis sapi yang diinginkan peternak adalah sapi perah yang low cost, yaitu sapi yang dengan postur
dan kemampuan produksi yang tidak superior, namun dapat dikelola sesuai dengan
kemampuan peternak.
Sebab yang terjadi selama ini adalah, peternak
“dipaksa” memelihara sapi perah FH/PFH dengan tuntutan biaya pakan tinggi,
karena memang secara genetik sapi tersebut membutuhkan pakan dengan kuantitas
dan kualitas tinggi. Ketika hal ini tidak dapat dipenuhi secara kontinu, maka
produksi susu akan turun jauh di bawah performa yang diharapkan, bahkan rentan
terjadi metabolic diseases dengan ditemukannya sapi
perah produksi tinggi yang ambruk.
Menutupi
kekurangan margin usaha sapi perah, para peternak menyilangkan induk perah
mereka dengan straw sapi potong seperti Limousin
dan Simmental, yang akan menghasilkan
anakan dengan harga jual lebih tinggi. Ini pasti menimbulkan masalah, baik pada
reproduksi maupun untuk replacement
stock. Oleh karena itu, keluhan peternak ini harus segera dicarikan solusinya. Bisa jadi IDCC sebagai salah satu solusinya.
Dengan
adanya bangsa sapi perah yang lebih adaptif terhadap iklim tropis, akan
memudahkan peternak dalam mengelola pakan tanpa kekhawatiran menimbulkan
kekurangan nutrien, sehingga produksi susu secara optimal dapat diraih. Satu
hal yang pasti, meskipun bukan jumlah produksi susu yang superior, namun biaya yang dikeluarkan masih terjangkau
peternak.
Dari kegiatan FGD tersebut, diharapkan menjadi awal inisiasi pemikiran
seluruh stakeholder bidang sapi potong dan perah, untuk turut serta
mengatasi permasalahan industri persapian.
Pertemuan selanjutnya akan dilakukan
pada awal 2019 di Bogor, dengan agenda pembentukan konsorsium
sapi potong dan perah komersial Indonesia, serta penentuan langkah teknis,
hingga diharapkan launching IBCC dan
IDCC bisa terwujud pada
2022 mendatang.
Pengembangan bangsa sapi
komersial ini membutuhkan dukungan dan kerja-keras semua pihak, mulai
dari pihak
swasta,
asosiasi/organisasi, pemerintah sebagai regulator, perguruan tinggi dan lembaga penelitian.
AAS.2019