Ketahanan
pakan bukan melulu soal sukses menyediakan, tetapi juga soal kemampuan bertahan
menghadapi segala kemungkinan
Terbit di INFOVET, Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan Edisi 288 - Juli 2018 Halaman 54-56
Teknologi
silase, terdengar bukan sebagai penemuan kekinian. Puluhan tahun yang lalu
teknologi ini sudah diperkenalkan, khususnya di negara-negara subtropis dengan
4 pola musim. Bagi mereka, silase hijauan pakan ruminansia adalah keniscayaan
untuk ketahanan pakan di musim dingin, dimana sulit ditemukan cadangan pakan
hijauan di lahan yang tertutupi salju.
Hijauan Fermentasi di Indonesia
Di
Indonesia, teknologi silase atau yang biasa disebut hijauan pakan fermentasi,
didengungkan sebagai solusi mengatasi kerawanan hijauan di musim kemarau.
Namun, realita di lapangan hingga kini, jarang ditemukan peternak dan kelompok
peternak yang secara masif memproduksi silase sebagai kebutuhan pokok untuk
mempertahankan ketahanan pakan. Berbagai penyuluhan yang diberikan kepada
mereka, dari tahun ke tahun, tidak diimplementasikan secara berkesinambungan.
Hal ini bisa jadi disebabkan karena memang kayanya negara kita Indonesia.
Berbagai jenis hijauan pakan mudah ditemukan dan tumbuh subur. Bahkan beberapa
daerah disebut sebagai lumbung pakan hijauan. Kondisi kekeringan di musim
kemarau pun dianggap masih aman, karena masih bisa ditemukan beberapa spesies
tanaman tahan kering seperti lamtoro, ada masih cukupnya suplai hijauan yang
didatangkan dari daerah lumbung pakan. Sehingga lumrah, bila masyarakat masih
enggan memproduksi silase terus menerus sebagai kebutuhan, karena menambah
biaya produksi mereka.
Berbeda
dengan masyarakat peternak, justru industri peternakan ruminansia yang kerap
memanfaatkan teknologi silase untuk efisiensi produksi pakan. Limbah industri
pertanian kerap di-mix dengan
berbagai bahan pakan sumber serat, untuk difermentasi menjadi silase komplit.
Satu jenis ransum komplit tersebut lebih menjamin ketersediaan pakan sepanjang
musim produksi, menjamin kestabilan kualitas pakan, serta efisiensi penggunaan
tenaga kerja.
Tantangan Kerawanan Pakan Hijauan
Urgensi
ketersediaan pakan di Indonesia, khususnya pulau Jawa, bukan lagi hanya
disebabkan karena semakin menurunnya jumlah lahan hijauan pakan yang tergerus
cepatnya arus pembangunan pemukinan dan industri, namun juga karena faktor
bencana alam. Betul, negara kita memang harus bersahabat dengan alam dan memahami
bahwa wilayah kita adalah wilayah rawan bencana. Gempa bumi dan tanah longsor,
serta banjir mampu meluluh-lantakkan lahan pertanian. Demikian juga dengan
gunung meletus. Awal Mei kemarin, Yogyakarta dan sekitarnya kembali merasakan
hujan abu akibat erupsi freatik Gunung Merapi. Abu yang dikeluarkan gunung
berapi terbang dan menyelimuti seluruh kehidupan, termasuk ke lahan pertanian.
Kondisi ini mengingatkan pada erupsi Gunung Kelud dan Merapi beberapa tahun
sebelumnya, yang terjadi hingga lebih dari 3 hari. Namun, pengaruh dari abu
vulkanik yang menempel pada permukaan tanaman bertahan hingga sebulan lebih,
yang menyebabkan gagal panen dan kelangkaan hijauan pakan. Peternak ruminansia
mengeluhkan kondisi ini, dimana palatabilitas ternak terhadap hijauan pakan
tercemar abu vulkanik menurun drastis. Saat itu, penggunaan konsentrat
ditingkatkan untuk mengganti kehilangan nutrien hijauan yang tidak terkonsumsi.
Akibatnya peningkatan biaya pakan menjadi tak terhindarkan.
Alasan
kepemilikan rojo koyo seperti sapi,
kerbau, kambing, dan domba oleh peternak di pedesaan, lebih sebagai ternak
tabungan, yang siap diuangkan bila mereka membutuhkan uang. Faktor hitung-hitungan
produksi belum menjadi konsen pokok, apalagi efisiensi prosesnya. Sehingga
wajar bila teknologi sederhana silase tidak tersentuh secara berkesinambungan.
Namun, hampir di setiap daerah, para peternak menghimpun diri dalam kelompok
peternak, yang memperhatikan struktur organisasi dan menjalankan unit usaha.
Kelompok ini mampu menjembatani peternak dengan segala keterbatasan yang tidak
bisa diraih bila dilakukan sendiri-sendiri, termasuk di dalam usaha
mempertahankan ketahanan pakan sepanjang musim dengan biaya yang semakin
efisien. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan dibentuknya unit
usaha produksi hijauan fermentasi.
Beberapa
konsep dapat diterapkan. Misal, peternak yang umumnya mempunyai lahan hijauan,
meski terbatas, dapat menyetor kelebihan hijauan pada musim berkelimpahan
hijauan (misal saat penghujan) kepada unit usaha di kelompok. Kemudian, unit
usaha tersebut memproduksi hijauan fermentasi dari bahan baku yang dibeli dari
peternak, atau dapat kulakan dari
daerah lumbung hijauan pakan. Peternak dapat kembali memanfaatkan hasil panen
hijauan fermentasi yang diproduksi oleh kelompok mereka, setiap saat, terutama
pada saat kesulitan mendapatkan hijauan segar seperti pada saat musim kemarau,
bahkan saat terjadinya hujan abu vulkanik. Pembelian pun dapat dilakukan dengan
cara kekeluargaan yang mengedepankan kebijakan masing-masing kelompok, seperti
pembelian secara tunai, pembayaran dengan harga dipotong setoran bahan baku
hijauan, atau pembayaran kredit yang dibayar berkala atau menggunakan pupuk
kandang.
Konsep
kerakyatan seperti ini perlu dikelola oleh pengurus yang mengerti aspek usaha,
aspek teknologi yang digunakan, yang juga akan mendapatkan hasil dari unit
usaha yang dikelolanya untuk kesejahteraan mereka juga. Sehingga, dapat
tercipta kondisi saling membantu dalam rangka efisiensi produksi yang dilakukan
secara komunal antara peternak dan pengurus kelompok, bukan lagi berjuang
sendiri-sendiri.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGu8-dHNx8MJaprrjREEuyIN_cxErTIFn7eh9NInwI0V8u_Y9BjsuepmgITDKbYVS5rqg4QvhDKokfa1dCnd1ikaADJ-goOGvatHa7Rdeg1VpqYYMFUqi2qRZpRXsHTJUfImK-u6aGSdE/s320/20151030_141211.jpg) |
Proses pembuatan silase isi ulang |
Contoh Fakta Menarik di Indonesia
Sebagai
contoh di D.I. Yogyakarta, jumlah ternak ruminansia tercatat pada tahun 2013
(Dinas Pertanian DIY) di Kabupaten Gunungkidul mencapai 40% dari total
ruminansia di DIY (Tabel 1), jauh lebih tinggi dari Kabupaten Sleman yang hanya
mencapai 18% dari total ruminansia di DIY. Keadaan ini berbanding terbalik
dengan luas lahan pertanian sawah yang notabene menyumbang hijauan dan sisa
pertanian sebagai sumber pakan hijauan (Tabel 2). Karena ironisnya, Kabupaten
Gunungkidul hanya mempunyai luas lahan pertanian sawah 14% dari total sawah di
DIY, sementara Sleman mempunyai sawah paling luas hingga mencakup 40%. Ditambah
lagi bahwa sebagian besar sawah di Kabupaten Gunungkidul merupakan sawah tadah
hujan, yang mengalami masa-masa bero.
Hal ini mengindikasikan bahwa ada indikasi kerawanan pakan hijauan di Kabupaten
Gunungkidul. Dan wajar saja, bila lazim kita temui truk-truk pengangkut tebon (tanaman) jagung dan rumput raja
datang ke kabupaten yang mempunyai kontur berbukit-bukit ini setiap harinya.
Faktanya,
setiap musim kelangkaan pakan hijauan, hampir seluruh peternak di Kabupaten
Gunungkidul tidak enggan untuk membeli hijauan yang didatangkan dari kabupaten tetangga,
dengan harga 2-3 kali lipat lebih mahal dibanding jika mereka bisa menanam
sendiri. Berdasarkan perhitungan penulis dan pengalaman pendampingan di
lapangan, kelompok peternak yang mau memproduksi silase bagi kebutuhan anggota
kelompoknya, mampu menekan biaya pakan hijauan hingga separuhnya, dibanding
bila para anggota membeli hijauan segar secara eceran di pedagang hijauan. Hal
ini karena, sub unit yang dimiliki kelompok dapat memotong jalur pemasaran
hijauan pakan dengan membeli (kulakan)
hijauan dari daerah lain dengan tonase yang lebih besar, dan dapat dipergunakan
anggota di setiap saat, sehingga meningkatkan nilai produk dari segi waktu
pemanfaatan, dengan harga per kilogram menjadi lebih rendah.
Silase (Masih) sangat Berpotensi
Silase
hijauan pakan bukan lagi komoditas internal kelompok peternak, namun kini
merambah menjadi komoditas bisnis di hulu peternakan ruminansia. Para pengusaha
penggemukan, stocking untuk
pemotongan, serta qurban dan aqiqah
service akan berpikir dua kali untuk menanam hijauan sendiri. Mereka lebih
memilih membeli hijauan fermentasi (jika ada), bahkan dibanding dengan membeli
hijauan segar yang mempunyai masa simpan hijauan terbatas (hanya 1-2 hari).
Beberapa orang sudah menangkap peluang ini, seperti Kabupaten Magelang yang
mempunyai sumber daya rumput luar biasa tinggi, yang mulai menjual hijauan
silase ke D.I. Yogyakarta.
Kembali
ke silase itu sendiri. Silase hijauan dianggap dapat menjawab tantangan
kerawanan pakan hijauan. Membantu peternak menyediakan pakan hijauan
berkualitas, berkesinambungan, sepanjang masa, dan menjadi teknologi terapan
yang mampu menjawab tantangan bencana alam, keterbatasan lahan hijauan, dan tuntutan
efisiensi sistem usaha peternakan. Jadi sudah tidak ada lagi cerita ketika
turun hujan abu vulkanik, lalu sapi dan domba tidak makan, bukan? Jayalah
peternak Indonesia.
Tabel 1. Jumlah ternak ruminansia
D.I. Yogyakarta 2013
Kabupaten/Kota
|
Jumlah Ternak
Ruminansia
D.I. Yogyakarta Th. 2013** (ekor)
|
Sapi
Potong
|
Sapi Perah
|
Kerbau
|
Kambing
|
Domba
|
Total
|
Kab.
Kulonprogo
|
45.595
|
150
|
120
|
89.725
|
22.062
|
157.652
|
Kab. Bantul
|
50.552
|
153
|
271
|
74.462
|
52.085
|
177.523
|
Kab.
Gunungkidul
|
138.134
|
35
|
45
|
171.530
|
10.918
|
320.662
|
Kab. Sleman
|
38.216
|
3.954
|
541
|
33.625
|
71.412
|
147.748
|
Kota
Yogyakarta
|
297
|
34
|
5
|
388
|
383
|
1.107
|
Total D.I.
Yogyakarta
|
272.794
|
4.326
|
982
|
369.730
|
156.860
|
804.692
|
**Dinas
Pertanian D.I. Yogyakarta
Tabel 2. Luas lahan pertanian
2016 D.I. Yogyakarta
Kabupaten/Kota
|
Luas Lahan
Pertanian 2016 Daerah Istimewa Yogyakarta* (ha)
|
Sawah
|
Bukan Sawah
|
Kab. Kulonprogo
|
10.366
|
34.933
|
Kab. Bantul
|
15.150
|
12.923
|
Kab. Gunungkidul
|
7.875
|
117.332
|
Kab. Sleman
|
21.841
|
20.617
|
Kota Yogyakarta
|
60
|
16
|
Total D.I. Yogyakarta
|
55.292
|
185.821
|
*Badan Pusat Statistik D.I. Yogyakarta