Tuesday, December 26, 2017

Anthelmentika Alami Hijauan Pakan

Terbit di INFOVET, Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan
Edisi 280 - November 2017
Kearifan lokal peternak memanfaatkan pakan dedaunan (Jawa: ramban), secara tidak langsung melindungi ternak mereka dari serangan parasit dan resiko resistensi obat cacing komersial
Cacing merupakan salah satu parasit yang ditemukan di tubuh ternak ruminansia, dengan menyerang berbagai organ tubuh ternak yang sebagian besar menyerap darah ternak inangnya melalui permukaan organ tubuh. Sebut saja Haemonchus contortus, salah satu nematoda yang sering ditemukan pada kambing, domba dan sedikit ditemukan pada sapi. Habitat cacing ini di abomasum, salah satu kompartemen lambung ruminansia, sehingga disebut juga cacing lambung. Tanda-tanda klinis yang digunakan untuk memprediksi infestasi cacing ini adalah anemia (Eguale et al., 2007). Anemia dapat menyerang dengan cepat pada ruminansia dan beresiko kematian. Hal ini menimbulkan gangguan produksi dan beresiko meningkatkan kerugian peternak. Salah satu cara paling efektif adalah dengan pemberian obat cacing (anthelmentika) secara rutin di kandang, yang tentunya merupakan bagian dari biaya produksi tersendiri, serta dilakukannya rotasi padang gembalaan untuk memutus siklus hidup cacing di permukaan tanah (Coles et al., 2006).

Resistensi Cacing terhadap Anthelmentika telah Ditemukan
di seluruh Penjuru Dunia
Dilaporkan telah terjadi resistensi cacing H. contortus terhadap anthelmentika sintetis komersial hampir di seluruh negara di dunia (Odhong et al., 2014; Hoste et al., 2015), yang menyerang sistem pencernaan ternak ruminansia dan meningkat dari tahun ke tahun, seiring tuntutan penggunaan obat cacing yang merupakan bagian penting dari penanggulangan penyakit cacingan pada ternak ruminansia (Haryuningtyas, 2008). Adanya resistensi ini menyebabkan peningkatan dosis penggunaan anthelmentika komersial seperti albendazole, benzimidazole, tetrahydropyrimidines, dan obat cacing lainnya, sehingga biaya produksi ikut terangkat naik. Mirip dengan konsekuensi penggunaan antibiotik sintetis pada pakan unggas dan ikan. Tentu saja ini tidak dapat dibiarkan, demi terjaganya efisiensi usaha peternakan. Hal ini membuat industri peternakan ruminansia mulai beralih mengurangi penggunaan anthelmentika kimia, dan menggantinya dengan tanaman yang berpotensi sebagai antiparasit, di luar fungsinya sebagai pakan hijauan ruminansia.
Kerugian lebih besar dirasakan bagi peternak dengan pola pemeliharaan padang gembala, dimana domba dapat mengakses langsung rerumputan dan tanaman di lahan terbuka. Larva cacing ikut terkonsumsi dan hidup di abomasum, tumbuh menjadi cacing dewasa dan menghisap darah ternak inangnya. Telur cacing yang dikeluarkan melalui feses dapat dijadikan parameter seberapa besar ternak terinfeksi. Kejadian nematodiasis untuk ternak di padang gembala dapat ditekan dengan introduksi tanaman mengandung senyawa metabolit sekunder. Selain berfungsi sebagai antiparasit, tanaman ini dapat pula sebagai suplementasi protein pakan ruminansia. Kendala serangan cacing jarang ditemukan pada sistem pemeliharaan semiintensif di kandang, dengan pola pemberian pakan cut and carry serta pemberian pakan tinggi protein dikombinasikan dengan tanaman kaya tanin (Athanasiadou et al., 2001), karena akses ternak terhadap habitat larva cacing ketika menyenggut rumput dapat dihindari.

Gambar 1. Tiga tahapan kunci dari siklus hidup cacing sebagai target utama anthelmentika alami dari berbagai hijauan pakan
Sumber gambar: Hoste et al. (2015)

Local Wisdom sebagai Solusi
Beberapa peneliti telah melakukan kajian sifat antiparasit terhadap berbagai tanaman lokal di Indonesia. Suplementasi rumput dengan daun singkong dan daun serta biji buah pepaya, dapat meningkatkan asupan nutrien dan mampu menekan parasit saluran cerna (Adiwimarta et al., 2010; Odhong et al., 2014). Hal ini ditunjukkan juga pada daun mimba, kersen, mengkudu, tembakau, nangka, waru, dan gamal. Limbah pertanian juga turut menyumbang peran sebagai anthelmentika alami untuk domba, seperti cairan serbuk kulit nanas 250mg/kg berat badan domba (Beriajaya et al., 2005). 
Peran tanaman mengandung senyawa metabolit sekunder yang bersifat antiparasit terhadap nematoda, dapat dilihat terhadap 3 tahap siklus hidup cacing (Gambar 1). Pertama, menurunkan jumlah telur cacing yang dikeluarkan ternak bersama feses. Kedua, menurunkan jumlah larva stadium tiga (L3) yang dimungkinkan terkonsumsi ternak, dan yang ketiga adalah menekan perkembangan telur cacing menjadi larva stadium tiga (Hoste et al., 2015).
Jika kita perhatikan, peternak kita secara naluriah berdasarkan pengalaman dari generasi ke generasi, telah mempunyai acuan dalam pola pemberian pakan. Meskipun domba dipelihara dengan digembalakan, sesekali mereka memberikan dedaunan (Jawa: ramban) sebagai pakan tambahan. Peternak di dataran tinggi, dengan ketersediaan pakan ramban melimpah dibanding rumput, sering menggunakan tanaman legume kaya protein dan senyawa metabolit sekunder  antiparasit seperti gamal (Gliricidea maculate), lamtoro (Leucaena leucocepala), limbah tanaman kacang tanah dan kedelai, dan daun singkong sebagai pakan basal pendamping rumput. Atau pun daun nangka, beringin, waru, jambu, dan kersen (Muntingia calabura) sebagai pakan tambahan. Ketika ditemukan ternak yang cacingan dan diare, solusi yang mereka berikan adalah memberikan dedauan tersebut sebagai pakan hijauan tambahan. Tampaknya solusi obat cacing jarang ditempuh peternak dengan skala kepemilikan di bawah 5 ekor. Bagi peternak yang mengandalkan ternak mereka sebagai sumber pendapatan utama, pemberian obat cacing diimbangi dengan sistem pemeliharaan semiintensif (dikandangkan), sehingga menekan akses ternak terhadap habitat larva cacing di rerumputan. Jarang ditemukan di Indonesia, peternak domba skala besar dengan pola padang gembala seperti di New Zealand dan Eropa yang membutuhkan rutinitas pemberian obat cacing sebagai langkah preventif dan pengobatan, selain introduksi legume yang berpotensi sebagai anti parasit. Oleh karena itu, bagi peternak kecil di Indonesia, mempopulerkan kearifan lokal (local wisdom) masyarakat dalam memanfaatkan tanaman lokal Indonesia sebagai antiparasit, dianggap sebagai langkah tepat dan efisien untuk menekan kejadian nematodiasis.

Kembali ke Alam, Kembali ke Peternak
Resiko resistensi cacing terhadap obat cacing komersial yang terjadi di segala penjuru dunia patut diwaspadai dan diantisipasi. Jangan sampai peternak kita tidak efisien dalam memelihara ternaknya, juga karena rendahnya produktifitas ternak karena kasus nematodiasis. Masuknya teknologi pengobatan dengan obat cacing sintetis komersial, tidak serta merta memberikan dampak perbaikan. Dimungkinkan peternak abai dan melupakan, bahwa potensi hijauan alam kita sangat luar biasa. Kebiasaan mereka memberikan aneka hijauan pakan untuk ternak domba dan kambing, menyiratkan nilai ilmiah dari solusi permasalahan yang mereka hadapi. Tinggal bagaimana para akademisi dan peneliti mentransfer kearifan lokal tersebut ke dalam numerik ilmiah, sehingga apa yang diterapkan peternak dari kebiasaan mereka selama ini, dapat mempresentasikan nilai-nilai ilmiah yang mendukung kesinambungan usaha peternakan mereka, juga secara tidak langsung menjaga asa para peternak untuk semakin sejahtera. (AAS)

Cara Menentukan Tema Channel bagi Youtuber Pemula

Hai halo youtube mania, para content creator , dan pemirsa youtube. Assalamualaikum. Video ini diproduksi dan diupload saat pandemi covid-1...