![]() |
Terbit di INFOVET, Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan
Edisi 280 - November 2017
|
Kearifan lokal peternak memanfaatkan pakan dedaunan (Jawa: ramban), secara tidak langsung melindungi ternak mereka dari serangan parasit dan resiko resistensi obat cacing komersial
Cacing merupakan salah satu parasit yang ditemukan di
tubuh ternak ruminansia, dengan menyerang berbagai organ tubuh ternak yang sebagian
besar menyerap darah ternak inangnya melalui permukaan organ tubuh. Sebut saja Haemonchus contortus, salah satu
nematoda yang sering ditemukan pada kambing, domba dan sedikit ditemukan pada
sapi. Habitat cacing ini di abomasum, salah satu kompartemen lambung
ruminansia, sehingga disebut juga cacing lambung. Tanda-tanda klinis yang
digunakan untuk memprediksi infestasi cacing ini adalah anemia (Eguale et al., 2007). Anemia dapat menyerang
dengan cepat pada ruminansia dan beresiko kematian. Hal ini menimbulkan
gangguan produksi dan beresiko meningkatkan kerugian peternak. Salah satu cara
paling efektif adalah dengan pemberian obat cacing (anthelmentika) secara rutin
di kandang, yang tentunya merupakan bagian dari biaya produksi tersendiri,
serta dilakukannya rotasi padang gembalaan untuk memutus siklus hidup cacing di
permukaan tanah (Coles et al., 2006).
Resistensi Cacing terhadap Anthelmentika telah
Ditemukan
di seluruh Penjuru Dunia
Dilaporkan telah terjadi resistensi cacing H. contortus terhadap anthelmentika sintetis
komersial hampir di seluruh negara di dunia (Odhong et al., 2014; Hoste et al.,
2015), yang menyerang sistem pencernaan ternak ruminansia dan meningkat dari
tahun ke tahun, seiring tuntutan penggunaan obat cacing yang merupakan bagian
penting dari penanggulangan penyakit cacingan pada ternak ruminansia
(Haryuningtyas, 2008). Adanya resistensi ini menyebabkan peningkatan dosis
penggunaan anthelmentika komersial seperti albendazole, benzimidazole, tetrahydropyrimidines, dan obat cacing lainnya, sehingga biaya
produksi ikut terangkat naik. Mirip dengan konsekuensi penggunaan antibiotik
sintetis pada pakan unggas dan ikan. Tentu saja ini tidak dapat dibiarkan, demi
terjaganya efisiensi usaha peternakan. Hal ini membuat industri peternakan
ruminansia mulai beralih mengurangi penggunaan anthelmentika kimia, dan
menggantinya dengan tanaman yang berpotensi sebagai antiparasit, di luar
fungsinya sebagai pakan hijauan ruminansia.
Kerugian lebih besar dirasakan bagi peternak dengan
pola pemeliharaan padang gembala, dimana domba dapat mengakses langsung
rerumputan dan tanaman di lahan terbuka. Larva cacing ikut terkonsumsi dan
hidup di abomasum, tumbuh menjadi cacing dewasa dan menghisap darah ternak
inangnya. Telur cacing yang dikeluarkan melalui feses dapat dijadikan parameter
seberapa besar ternak terinfeksi. Kejadian nematodiasis untuk ternak di padang
gembala dapat ditekan dengan introduksi tanaman mengandung senyawa metabolit
sekunder. Selain berfungsi sebagai antiparasit, tanaman ini dapat pula sebagai
suplementasi protein pakan ruminansia. Kendala serangan cacing jarang ditemukan
pada sistem pemeliharaan semiintensif di kandang, dengan pola pemberian pakan cut and carry serta pemberian pakan
tinggi protein dikombinasikan dengan tanaman kaya tanin (Athanasiadou et al., 2001), karena akses ternak
terhadap habitat larva cacing ketika menyenggut rumput dapat dihindari.
![]() |
Gambar 1. Tiga tahapan kunci dari
siklus hidup cacing sebagai target utama anthelmentika alami dari berbagai
hijauan pakan
Sumber gambar: Hoste et al. (2015)
|
Local Wisdom sebagai Solusi
Beberapa peneliti telah melakukan kajian sifat
antiparasit terhadap berbagai tanaman lokal di Indonesia. Suplementasi rumput
dengan daun singkong dan daun serta biji buah pepaya, dapat meningkatkan asupan
nutrien dan mampu menekan parasit saluran cerna (Adiwimarta et al., 2010; Odhong et al., 2014). Hal ini ditunjukkan juga
pada daun mimba, kersen, mengkudu, tembakau, nangka, waru, dan gamal. Limbah
pertanian juga turut menyumbang peran sebagai anthelmentika alami untuk domba,
seperti cairan serbuk kulit nanas 250mg/kg berat badan domba (Beriajaya et al., 2005).
Peran tanaman mengandung senyawa metabolit sekunder
yang bersifat antiparasit terhadap nematoda, dapat dilihat terhadap 3 tahap
siklus hidup cacing (Gambar 1). Pertama, menurunkan jumlah telur cacing yang
dikeluarkan ternak bersama feses. Kedua, menurunkan jumlah larva stadium tiga
(L3) yang dimungkinkan terkonsumsi ternak, dan yang ketiga adalah menekan
perkembangan telur cacing menjadi larva stadium tiga (Hoste et al., 2015).
Jika kita perhatikan, peternak kita secara naluriah
berdasarkan pengalaman dari generasi ke generasi, telah mempunyai acuan dalam
pola pemberian pakan. Meskipun domba dipelihara dengan digembalakan, sesekali
mereka memberikan dedaunan (Jawa: ramban)
sebagai pakan tambahan. Peternak di dataran tinggi, dengan ketersediaan pakan ramban melimpah dibanding rumput, sering
menggunakan tanaman legume kaya protein dan senyawa metabolit sekunder antiparasit seperti gamal (Gliricidea maculate), lamtoro (Leucaena leucocepala), limbah tanaman
kacang tanah dan kedelai, dan daun singkong sebagai pakan basal pendamping
rumput. Atau pun daun nangka, beringin, waru, jambu, dan kersen (Muntingia calabura) sebagai pakan
tambahan. Ketika ditemukan ternak yang cacingan dan diare, solusi yang mereka
berikan adalah memberikan dedauan tersebut sebagai pakan hijauan tambahan.
Tampaknya solusi obat cacing jarang ditempuh peternak dengan skala kepemilikan
di bawah 5 ekor. Bagi peternak yang mengandalkan ternak mereka sebagai sumber
pendapatan utama, pemberian obat cacing diimbangi dengan sistem pemeliharaan
semiintensif (dikandangkan), sehingga menekan akses ternak terhadap habitat larva
cacing di rerumputan. Jarang ditemukan di Indonesia, peternak domba skala besar
dengan pola padang gembala seperti di New Zealand dan Eropa yang membutuhkan
rutinitas pemberian obat cacing sebagai langkah preventif dan pengobatan,
selain introduksi legume yang berpotensi sebagai anti parasit. Oleh karena itu,
bagi peternak kecil di Indonesia, mempopulerkan kearifan lokal (local wisdom) masyarakat dalam
memanfaatkan tanaman lokal Indonesia sebagai antiparasit, dianggap sebagai
langkah tepat dan efisien untuk menekan kejadian nematodiasis.
Kembali ke Alam, Kembali ke Peternak
klo mengundang tim sioux itu bayarny brp ya
ReplyDeleteklo mengundang tim sioux itu bayarny brp ya
ReplyDeleteSudah saya balas di kolom komentar artikel Sioux ya mbak Wiji Lestari. Terimakasih
ReplyDelete