Wednesday, August 9, 2017

Jiwa Manusia itu kuat

MEMBANGUN PETERNAKAN
DENGAN KEKUATAN SOSIAL
Oleh: Awistaros Angger Sakti
Peneliti Bidang Peternakan dan Ilmu Ternak
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)

Terbit di Majalah Infovet Edisi 260 - Maret 2016

Bukan lagi soal teknis.
Peternak akan berdaya, jika menghimpun diri dan memiliki seorang leader yang visioner


Republik ini tidak pernah kekurangan orang untuk menciptakan inovasi dan temuan mengagumkan. Jika di webometrik kita masih kalah dengan beberapa negara tetangga, sebut saja itu perihal ketertinggalan jumlah tulisan ilmiah. Itu saja. Selebihnya banyak yang bisa dimanfaatkan peternak kita untuk mengembangkan usaha ternaknya melalui menerapan ilmu dan teknologi kekinian. Bahkan internet pun sudah masuk di setiap sudut desa. Tidak ada lagi alasan untuk tidak mengenal teknologi peternakan terefisien. Namun, apakah peternak sudah lebih terjamin mendapatkan pundi-pundi emasnya? Ternyata belum. Banyak hal masih tidak bersahabat bagi peternak. Terutama yang terkait dengan pasar. Sebuah kata yang cocok dijadikan judul film, “Misteri dan Keajaiban Pasar”.

Harga Pasar? Profesor pun “Menyerah”
Para ahli, akademisi, dan ilmuwan sangat lihai menjawab pertanyaan tentang masalah teknis peternakan, yang telah berhasil mereka pecahkan di laboratorium atau di lapangan. Para expert sosial ekonomi peternakan begitu mudahnya melakukan komunikasi dan membangkitkan semangat peternak untuk mau menggunakan teknologi, dan atau memberdayakan mereka dengan berbagai kegiatan. Namun ketika seorang peternak mengeluh, bahwa sapi sudah berhasil mencapai target pertambahan berat badan dengan teknologi pakan terbaru, mereka takluk di tangan harga pasar. Semua ahli akan tertegun sejenak untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bagi yang sudah sering mendapat pertanyaan itu, seringkali langsung dijawab, “saya menyerah jika ditanya tentang harga pasar”.
Teknologi yang diintroduksikan ke suatu titik usaha peternakan, biasanya akan memberikan tambahan cost, yang bisa jadi akan memberikan tambahan keuntungan. Namun, belum tentu margin keuntungan lebih besar daripada margin biaya produksi. Jika pun berhasil lebih besar, masalah berikutnya yaitu tidak adanya kepastian harga pasar. Peternak kembali dipusingkan. Dari sini lah muncul pemikiran, bahwa improvement teknis produksi harus diimbangi dengan penguatan sabuk manajemen usaha. Peternak mampu menjangkau manajemen usaha yang kuat, jika mereka menghimpun diri dalam suatu kesatuan. Kemitraan ayam broiler yang dikelola perusahaan multinasional digunakan sebagai contoh, bagaimana kekuatan kelompok mampu mengatasi segala permasalahan bisnis. Lalu bagaimana nasib ternak lokal kita yang dikelola masyarakat umum? Sambil kita menjaga martabat ayam kampung (Sakti, 2013), atau mempopulerkan sapi Bali ke masyarakat dunia, perlu pembahasan dari sudut pandang berbeda untuk meningkatkan martabat para peternak Indonesia. Sentra Peternakan Rakyat (SPR) yang akhir-akhir ini diperkenalkan, menjadi salah satu terobosan penting dari Kementerian Pertanian periode ini.

Ibarat Sapu Lidi, Kuat Jika Berhimpun Bersama
Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia (BPPTK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gunungkidul pada tahun 2015 melakukan kegiatan diseminasi hasil penelitian di Kemitraan Puyuh Holstein Indonesia di Boyolali, Jawa Tengah. Pada medio 2014, kemitraan yang baru terbentuk pada tahun 2012 ini mempunyai jumlah peternak binaan 21 orang dengan populasi puyuh sebesar 35.000 ekor dan mampu memproduksi telur puyuh 6,5 juta butir per tahun. Saat ini, jumlah peternak dibina telah mencapai 55 orang dengan populasi puyuh lebih dari 100.000 ekor dan mampu memproduksi telur puyuh lebih dari 19 juta butir per tahun, dengan omset usaha mencapai 4 miliar rupiah per tahun. Jika melihat populasinya, sudah mencapai sekitar 0,8% dari populasi nasional atau 2,5% dari populasi puyuh di Jawa Tengah (Ditjenakeswan, 2015). Namun jika dilihat berapa persentase keuntungan kemitraan, ternyata hanya maksimal 4% dari omset yang beredar. Manajemen kemitraan memutuskan untuk menjual telur dengan margin keuntungan yang tipis, sehingga tingkat serapan pasar telur puyuh mereka selalu lebih dari 98% dari total panen, bahkan selalu kurang pada momen-momen tertentu. Hal ini membuat keamanan jumlah permintaan menjadi lebih terjamin. Selain itu pangsa pasar juga dapat terjaga dengan baik. Ini sangat penting, dan menjadi salah satu jawaban atas pertanyaan di atas tentang bagaimana mengatasi harga pasar yang fluktuatif.
Gambar 1. Itmamul Khuluq menunjukkan Buku Pintar Kemitraan karya LIPI dan Holstein Indonesia kepada Menristekdikti, M. Nasir, 18 Januari 2016 di sela-sela Seminar Nasional Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia, Semarang, Jawa Tengah
Bagaimana dengan biaya produksi di tengah keputusan mengambil margin keuntungan yang tipis? Kemitraan Puyuh Holstein Indonesia merupakan bentuk perhimpunan diri para peternak. Dengan berhimpun, mereka mampu menekan biaya produksi seperti pakan, transportasi, bibit, dan sarana produksi lainnya. Harga beli modal menjadi lebih rendah, karena mereka mampu membeli secara kolektif dengan tonase yang lebih besar, langsung dari perusahaan produsen pakan. Prinsip koperasi berlaku di sini, dengan segala keuntungan lainnya seperti kemudahan peternak dalam menjual hasil panen, kemudahan mendapatkan informasi terbaru terkait teknologi, pengendalian penyakit, maupun info pasar, dan membuat mereka kuat secara sosial, karena mayoritas dari mereka yang membangun kandang, bertetangga dalam satu kawasan. Resiko penolakan terhadap imbas buruk peternakan oleh masyarakat sekitar dapat ditekan seminimal mungkin. Ketika saya bertanya kepada salah satu peternak, tentang bagaimana mereka memasarkan telur, dengan tersenyum ia menjawab, “Tidak usah ikut pusing mikir hal itu, karena manajemen kemitraan lebih ahli, dan kegiatan kami dalam beternak menjadi lebih tenang dan menyenangkan”. Semua keuntungan ini sulit didapat jika mereka berdiri sendiri-sendiri, mengatur semuanya sendiri, tentu akan mudah patah seperti halnya sebatang lidi yang bekerja sendiri.

Leader yang Humanis dan Visioner
Seorang Sarjana Peternakan bernama Itmamul Khuluq berada di belakang ini semua. Pada tahun 2012 saat kembali ke desanya, mereka mendapati beberapa peternak puyuh yang berusaha sendiri-sendiri. Mandiri tentang segala hal, termasuk menghadapi rumitnya fluktuasi harga dari hulu ke hilir. Tak kuat melihat kenyataan pahit yang sering kali dihadapi peternak, ia mulai membentuk manajemen kemitraan dengan dirinya sebagai pemimpin yang sebenarnya adalah sebagai pelayan bisnis bagi peternak.
Suatu koperasi atau kelompok ternak, tidak akan maju dengan pesat jika tidak dipimpin oleh leader yang bukan hanya memahami hal teknis, tetapi juga visioner. Grand desain akan membawa mereka semua ke arah tujuan bisnis yang jelas. Namun semua itu akan menemui batu sandungan jika leader tersebut kurang humanis. Leader harus paham dan mampu memahami masing-masing karakter peternak. Mampu ngemong (mengasuh) peternak dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang berbeda-beda. Serta mampu mengkombinasikan sifat berbeda itu menjadi satu kekuatan kemitraan yang murni dan identik dibanding kemitraan yang lain. Leader harus mau dan mampu terjun ke pasar, sehingga bisa membuat keputusan terbaik terkait strategi pasar. Kemampuan teknis, sifat humanis, dan pandangan visioner dibutuhkan leader untuk membawa perhimpunan ke arah kesuksesan. Peternak kita membutuhkan sarjana-sarjana seperti ini untuk mengelolakan usaha mereka, dan mendampingi mereka meraih kesejahteraan bersama.

Bukan Lagi Soal Teknis, Karena ini Bisnis
Harga pasar untuk produk peternakan bukan hanya terkait teknis produksi, melainkan lebih dipengaruhi faktor sosial-politik, termasuk spekulan dan impor. Sayangnya, di setiap kegiatan pemberdayaan, peternak kita masih saja hanya diberi improvement tentang teknis, seperti halnya teknologi pakan dan aditif, bibit yang baik, pengendalian penyakit, dan usaha peningkatan performa ternak lainnya. Empowerment yang lebih dibutuhkan peternak saat ini adalah tentang kelembagaan, kekuatan sosial, dan manajerial usaha. Segala teknis produksi akan lebih efektif dan efisien jika diimbangi peningkatan kekuatan mereka secara sosial dan manajerial. Karena mereka menjalankan bisnis, bukan sekedar membuat bentuk peternakan ideal seperti di kandang milik lembaga penelitian dan pendidikan. Entah peternak kita setuju atau tidak jika usaha ternaknya dianggap bisnis, namun jika kita sepakat bahwa peternak Indonesia harus berdaya, maka sekecil apapun usaha peternakan, selalu kita anggap sebagai bisnis, agar kepedulian kita menjadi total. Tidak lain hanya untuk mensejahterakan dan memuliakan peternak Indonesia.


Awistaros A. Sakti, 2016

No comments:

Post a Comment

Cara Menentukan Tema Channel bagi Youtuber Pemula

Hai halo youtube mania, para content creator , dan pemirsa youtube. Assalamualaikum. Video ini diproduksi dan diupload saat pandemi covid-1...