MEMBANGUN PETERNAKAN
DENGAN KEKUATAN SOSIAL
DENGAN KEKUATAN SOSIAL
Oleh: Awistaros Angger Sakti
Peneliti
Bidang Peternakan dan Ilmu Ternak
LEMBAGA
ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
Terbit di Majalah Infovet Edisi 260 - Maret 2016
Bukan lagi soal teknis.
Peternak akan berdaya, jika menghimpun diri dan
memiliki seorang leader yang visioner
Republik ini tidak
pernah kekurangan orang untuk menciptakan inovasi dan temuan mengagumkan. Jika
di webometrik kita masih kalah dengan beberapa negara tetangga, sebut saja itu
perihal ketertinggalan jumlah tulisan ilmiah. Itu saja. Selebihnya banyak yang
bisa dimanfaatkan peternak kita untuk mengembangkan usaha ternaknya melalui
menerapan ilmu dan teknologi kekinian. Bahkan internet pun sudah masuk di
setiap sudut desa. Tidak ada lagi alasan untuk tidak mengenal teknologi
peternakan terefisien. Namun, apakah peternak sudah lebih terjamin mendapatkan
pundi-pundi emasnya? Ternyata belum. Banyak hal masih tidak bersahabat bagi
peternak. Terutama yang terkait dengan pasar. Sebuah kata yang cocok dijadikan
judul film, “Misteri dan Keajaiban Pasar”.
Harga Pasar? Profesor
pun “Menyerah”
Para ahli, akademisi,
dan ilmuwan sangat lihai menjawab pertanyaan tentang masalah teknis peternakan,
yang telah berhasil mereka pecahkan di laboratorium atau di lapangan. Para expert sosial ekonomi peternakan begitu
mudahnya melakukan komunikasi dan membangkitkan semangat peternak untuk mau
menggunakan teknologi, dan atau memberdayakan mereka dengan berbagai kegiatan.
Namun ketika seorang peternak mengeluh, bahwa sapi sudah berhasil mencapai
target pertambahan berat badan dengan teknologi pakan terbaru, mereka takluk di
tangan harga pasar. Semua ahli akan tertegun sejenak untuk menjawab pertanyaan
tersebut. Bagi yang sudah sering mendapat pertanyaan itu, seringkali langsung
dijawab, “saya menyerah jika ditanya tentang harga pasar”.
Teknologi yang
diintroduksikan ke suatu titik usaha peternakan, biasanya akan memberikan
tambahan cost, yang bisa jadi akan
memberikan tambahan keuntungan. Namun, belum tentu margin keuntungan lebih besar daripada margin biaya produksi. Jika pun berhasil lebih besar, masalah
berikutnya yaitu tidak adanya kepastian harga pasar. Peternak kembali
dipusingkan. Dari sini lah muncul pemikiran, bahwa improvement teknis produksi harus diimbangi dengan penguatan sabuk
manajemen usaha. Peternak mampu menjangkau manajemen usaha yang kuat, jika
mereka menghimpun diri dalam suatu kesatuan. Kemitraan ayam broiler yang
dikelola perusahaan multinasional digunakan sebagai contoh, bagaimana kekuatan
kelompok mampu mengatasi segala permasalahan bisnis. Lalu bagaimana nasib
ternak lokal kita yang dikelola masyarakat umum? Sambil kita menjaga martabat
ayam kampung (Sakti, 2013), atau mempopulerkan sapi Bali ke masyarakat dunia,
perlu pembahasan dari sudut pandang berbeda untuk meningkatkan martabat para
peternak Indonesia. Sentra Peternakan Rakyat (SPR) yang akhir-akhir ini
diperkenalkan, menjadi salah satu terobosan penting dari Kementerian Pertanian
periode ini.
Ibarat Sapu Lidi,
Kuat Jika Berhimpun Bersama
Balai Pengembangan
Proses dan Teknologi Kimia (BPPTK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Gunungkidul pada tahun 2015 melakukan kegiatan diseminasi hasil penelitian di
Kemitraan Puyuh Holstein Indonesia di Boyolali, Jawa Tengah. Pada medio 2014,
kemitraan yang baru terbentuk pada tahun 2012 ini mempunyai jumlah peternak
binaan 21 orang dengan populasi puyuh sebesar 35.000 ekor dan mampu memproduksi
telur puyuh 6,5 juta butir per tahun. Saat ini, jumlah peternak dibina telah
mencapai 55 orang dengan populasi puyuh lebih dari 100.000 ekor dan mampu
memproduksi telur puyuh lebih dari 19 juta butir per tahun, dengan omset usaha
mencapai 4 miliar rupiah per tahun. Jika melihat populasinya, sudah mencapai
sekitar 0,8% dari populasi nasional atau 2,5% dari populasi puyuh di Jawa
Tengah (Ditjenakeswan, 2015). Namun jika dilihat berapa persentase keuntungan
kemitraan, ternyata hanya maksimal 4% dari omset yang beredar. Manajemen
kemitraan memutuskan untuk menjual telur dengan margin keuntungan yang tipis,
sehingga tingkat serapan pasar telur puyuh mereka selalu lebih dari 98% dari
total panen, bahkan selalu kurang pada momen-momen tertentu. Hal ini membuat
keamanan jumlah permintaan menjadi lebih terjamin. Selain itu pangsa pasar juga
dapat terjaga dengan baik. Ini sangat penting, dan menjadi salah satu jawaban
atas pertanyaan di atas tentang bagaimana mengatasi harga pasar yang
fluktuatif.
Bagaimana dengan
biaya produksi di tengah keputusan mengambil margin keuntungan yang tipis? Kemitraan Puyuh Holstein Indonesia merupakan
bentuk perhimpunan diri para peternak. Dengan berhimpun, mereka mampu menekan
biaya produksi seperti pakan, transportasi, bibit, dan sarana produksi lainnya.
Harga beli modal menjadi lebih rendah, karena mereka mampu membeli secara
kolektif dengan tonase yang lebih besar, langsung dari perusahaan produsen
pakan. Prinsip koperasi berlaku di sini, dengan segala keuntungan lainnya
seperti kemudahan peternak dalam menjual hasil panen, kemudahan mendapatkan
informasi terbaru terkait teknologi, pengendalian penyakit, maupun info pasar,
dan membuat mereka kuat secara sosial, karena mayoritas dari mereka yang
membangun kandang, bertetangga dalam satu kawasan. Resiko penolakan terhadap
imbas buruk peternakan oleh masyarakat sekitar dapat ditekan seminimal mungkin.
Ketika saya bertanya kepada salah satu peternak, tentang bagaimana mereka
memasarkan telur, dengan tersenyum ia menjawab, “Tidak usah ikut pusing mikir
hal itu, karena manajemen kemitraan lebih ahli, dan kegiatan kami dalam beternak
menjadi lebih tenang dan menyenangkan”. Semua keuntungan ini sulit didapat jika
mereka berdiri sendiri-sendiri, mengatur semuanya sendiri, tentu akan mudah patah
seperti halnya sebatang lidi yang bekerja sendiri.
Leader yang Humanis dan
Visioner
Seorang Sarjana
Peternakan bernama Itmamul Khuluq berada di belakang ini semua. Pada tahun 2012
saat kembali ke desanya, mereka mendapati beberapa peternak puyuh yang berusaha
sendiri-sendiri. Mandiri tentang segala hal, termasuk menghadapi rumitnya
fluktuasi harga dari hulu ke hilir. Tak kuat melihat kenyataan pahit yang
sering kali dihadapi peternak, ia mulai membentuk manajemen kemitraan dengan
dirinya sebagai pemimpin yang sebenarnya adalah sebagai pelayan bisnis bagi
peternak.
Suatu koperasi atau
kelompok ternak, tidak akan maju dengan pesat jika tidak dipimpin oleh leader yang bukan hanya memahami hal
teknis, tetapi juga visioner. Grand
desain akan membawa mereka semua ke arah tujuan bisnis yang jelas. Namun semua
itu akan menemui batu sandungan jika leader
tersebut kurang humanis. Leader harus paham dan mampu memahami masing-masing karakter
peternak. Mampu ngemong (mengasuh)
peternak dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang berbeda-beda. Serta
mampu mengkombinasikan sifat berbeda itu menjadi satu kekuatan kemitraan yang
murni dan identik dibanding kemitraan yang lain. Leader harus mau dan mampu terjun ke pasar, sehingga bisa membuat
keputusan terbaik terkait strategi pasar. Kemampuan teknis, sifat humanis, dan pandangan
visioner dibutuhkan leader untuk
membawa perhimpunan ke arah kesuksesan. Peternak kita membutuhkan
sarjana-sarjana seperti ini untuk mengelolakan usaha mereka, dan mendampingi
mereka meraih kesejahteraan bersama.
Bukan Lagi Soal
Teknis, Karena ini Bisnis
Harga pasar untuk
produk peternakan bukan hanya terkait teknis produksi, melainkan lebih
dipengaruhi faktor sosial-politik, termasuk spekulan dan impor. Sayangnya, di
setiap kegiatan pemberdayaan, peternak kita masih saja hanya diberi improvement tentang teknis, seperti
halnya teknologi pakan dan aditif, bibit yang baik, pengendalian penyakit, dan
usaha peningkatan performa ternak lainnya. Empowerment
yang lebih dibutuhkan peternak saat ini adalah tentang kelembagaan, kekuatan
sosial, dan manajerial usaha. Segala teknis produksi akan lebih efektif dan
efisien jika diimbangi peningkatan kekuatan mereka secara sosial dan
manajerial. Karena mereka menjalankan bisnis, bukan sekedar membuat bentuk
peternakan ideal seperti di kandang milik lembaga penelitian dan pendidikan. Entah
peternak kita setuju atau tidak jika usaha ternaknya dianggap bisnis, namun
jika kita sepakat bahwa peternak Indonesia harus berdaya, maka sekecil apapun
usaha peternakan, selalu kita anggap sebagai bisnis, agar kepedulian kita
menjadi total. Tidak lain hanya untuk mensejahterakan dan memuliakan peternak
Indonesia.
Awistaros A. Sakti, 2016
No comments:
Post a Comment